Aku sempat bercerita tentang angan-anganku kepada angin di masa lampau. “Ingin jadi seorang seniman,” tuturku, kemudian merapatkan mata dan mensubstansikan pikiran dengan sejumlah hal yang sebelumnya aku yakini merupakan properti utama yang Tuhan karuniakan kepadaku dalam menjalani hiruk pikuk kehidupan.
Menggambar, melukis, bernyanyi — di dunia ini, banyak hal yang aku suka dan pada akhirnya aku tinggalkan. Kamu adalah saksi patuh dari segenap galeri perpisahanku dengan perkara yang suah aku dambakan dan juga pernah sangat aku gemari, bukan?
Dulu, usiaku yang hanya belasan tahun itu terlalu muda untuk mengerti semua hal yang dilontarkan gerombolan serigala nan tak dapat dijinakkan layaknya seekor anjing di pekarangan rumah. Alhasil, kata tiap kata yang berhasil mereka suakan mengoyak raga, tak meninggalkan sepeser pun abu untuk diri ini merekah.
Dan semenjak saat itu, aku menyerah pada hal yang aku suka.
Kamu bertentangan dari aku. Aku paham itu, dan aku cukup yakin kamu pun begitu. Apapun yang dilukiskan tanganmu paripurna seolah takdirmu sudah dituliskan kartika untuk menjadi sebuah pusaka yang besar dan penuh akan guna untuk sekitar, sementara tanganku terbelenggu biru, berhenti beranak-pinak, dan cakarnya semakin lama patah tak berwujud.
“Aku tahu kamu lebih dari siapapun,” aku ingat dengan gayamu yang arogan, kamu mengatakan itu. Pembohong, pikirku. Itu lah perkataan yang selalu kamu sabdakan setiap kali aku, untuk kesekian kalinya, harus melafalkan kalimat ‘selamat tinggal, semoga kamu tidak mencampakkan mereka dengan minat yang sama sepertiku’ kepada hal yang aku suka, “jadi, nggak usah terlalu dipikirin, ya? Semuanya bukan salah kamu.”
Konyolnya, aku merasa tenang kamu bilang begitu.
Aku bersumpah, di dunia ini banyak hal yang aku suka dan pada akhirnya aku tanggalkan. Sama halnya dengan peristiwa yang terjadi di antara aku dan kamu pada hari Rabu, tepat dua minggu yang lalu, ketika kedua ain kita tak ada labuhnya mendaratkan lambang kesenduan di saat aku harus melepaskan jemarimu yang sudah terpaut erat selama lima tahun dalam rentang waktu.
Apakah kamu bahkan sadar bahwa ada beberapa hal yang tidak kamu ketahui berkenaaan dengan aku?
Perasaan suka dan cinta itu terlalu agung bagiku, namun aku rasa perasaan semacam ini tidak akan mudah menyusut, dan dengan amat pasti aku dapat mendeklarasikan bahwa perkara ini akan selalu sama seperti apa yang sebelumnya kita sandang. Bedanya, kali ini aku akan menadah perasaanku ke dalam bentuk yang berparak. Bentuk yang dengan jelas tak lagi setara dengan paham dan haluan yang sempat kita peluk bersama. Bentuk yang bahkan memegang potensi menjadi sebuah ketidaksepakatan bila aku masih menggelarinya atas nama renjana.
Layaknya sebuah ganjaran pahit yang patut kuterima, aku paham jika hujan kutukan dan serapah akan mengguyurku malam itu. Aku juga paham jika kamu tak mau menyambut hangat hal yang serupa dengan apa yang hendak dirunjamkan — ketika kata ‘sayang’ masih berdengung nyaring dari bibir satu sama lain di hari yang sampai kemarin masih dapat berlanjut sembari bersenandung dalam satu nada — kendati kita tahu bahwa sarang bersemayam kita berada di ujung ketidakpastian dalam taruhan ricuh yang tak juga datang meluruh.
Namun kala aku berdiri tepat di hadapanmu, aku telah menggariskan ideologi final mengenai bentuk cinta yang sudah cukup lama aku renungkan, yaitu bentuk yang sejatinya merampas lara, dan langkah berikutnya adalah membinasakan asmara.
Karena, kekasihku, kamu adalah secorak mahakarya, dan aku tak punya kuasa untuk dengan lantang menabalkanmu menjadi selaras petaka. Sebab kamu tidak akan pernah pantas menanggung kusutnya semesta, akan tetapi kadarku iya.